Jumat, 19 Desember 2014

Sebuah Ungkapan Rasa - Mei 2014



Sabtu, 31 Mei 2014
Entahlah,, yang aku rasakan hanya rasa sakit yang menghuncam di jiwa. Entah apa yang terjadi, mungkin karena aku semakin dewasa hingga yang aku rasakan seolah-olah aku adalah tulang punggung keluarga. Kondisi ketika yang berada dirumah hanya aku, sedang kakak-kakakku sudah menikah. Ketika bapak sakit rasanya harusnya aku yang bertanggungjawab, ketika ibu sakit, harusnya aku yang mencarikan obat. Mereka sudah cukup tua untuk itu semua, harusnya aku sudah bisajadi tulang punggung mereka dalam hal ekonomi. Tapi yang terjadi apa? Aku sama sekali tak bisa memenuhi itu, bahkan aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak punya cukup uang untuk itu, untuk uang bensin saja aku sudah pinjam uang sekolah. Banyak sekali masalah rasanya, entah apa.............. tapi aku hanya ingin lari dari semua ini....... harusnya memang aku tidak lari dari masalah, tapi ini sungguh sakit sekali,,, sakiiiiiiiiiiiit.
Kondisi ketika motor yang kupakai bukan punyaku, bukan sesuatu yang diberikanorangtuaku... melainkan dari orang lain yang sebenarnya berniat baik tapi kenyataannya hanya membuat beban hidupku semakin berat. Iya kalau motor itu enak dipakai, tapi kenyataannya motor itu sangat menyebalkan, membuat tubuhku sakit pegal-pegal jika aku menaikinya. Dan itu hanya beban, membuatku merasa berhutang dan harus membayarnya...
Laptop. Ini juga dari beliau. Lagi-lagi ia berniat baik, tapi ia sungguh tidak memikirkan perasaanku atas apa yang telah beliau lakukan, mungkin beliau pikir dengan fasilitas-harta yang beliau berikan akan membuatku bahagia dan bisa menjalani hidup dengan ringan... tidak ! sama sekali tidak!!!
Ini semua hanya membuatku semakin sakit, sakit,  sakit.
Aku memang bukan berasal dari orang yang mampu, dengan rumah yang bersih dan rapi, atau mungkin rumah yang terutup rapat. Tapi lagi-lagi masih ada orang yang lebih sulit dari aku. Tapi aku merasa seolah-olah aku adalah orang paling menderita di dunia.
Entahlah apa yang terjadi padaku... masalah yang datang kini tak membuatku semakin dekat dengan Sang Pemegang Hidup. Yang terjadi justru membuatku semakin jauh darinya. Apalagi fakta politik yang aku temui langsungpada ppartai yang tadinya aku puji-puji tapi tak ada bedanya dengan partai lain. Kondisi ketika aku berada di lingkunyan tarbiyah tapi ternyata banyak dari meraka yang terbiasa menyakiti hati saudaranya, terbiasa menyalahkan saudarannya. Ini semakin membuatku muak............
Kondisi ketika aku bekerja pada sebuah lembaga milik jamaah, tapi disanaaku lebih sering menangis, karena kata-kata mereka yang mungkin mereka tidak sadar telah membuat sakit hatiku... membuatku ragu pada mereka...
Aku berusaha keras setiap harinya agar bisa menyelesaikan tugasku dengan baik, dan tepat waktu. Tapi mereka tak pernah melihat kerja kerasku. Setiap pekerjaan yang sukses aku kerjakan tak pernah mendapat apresiasi dari mereka, tapi sebaliknya sedikit saja ada tugas yang tak sempurna sudah pasti hujatan dan seribu hujatan aku dapat, dan sudah pasti aku dapatkan air mata mengalir disana. Ini yang membuatku benci dan semakin benci.
Dan disana aku tak mendapat imbalan yang layak atas kerjaku,usaha kerasku ketika dihargai layak tapi aku justru mendapati semua orang berbuat tak layak padaku, bahkan sering kali aku tak mendapati senyuman, yang aku dapati hanyalah kata-kata dingin yang keluar dari mulut mereka.... dan kini ketika semua kembali normal, justru tidakcukupppp... bahkan untuk bensin saja tak cukkup...
Aku tahu apa yang terjadi padaku adalah sebuah kefuturan, aku tidak mau futur ini akhirnya membuatku menjadi munafik, aku ingin kembali pada Allah. Aku tak lagi percaya pada teman-teman dan ustadzahku atas masalahku, hingga aku tak lagi kuasa untuk berbagi masalah pada mereka,, entahlah kepercayaanku pada mereka kini telah pudar. Aku hanya bisa menyimpan rasa sakit ini sendiri. Tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya diam dan hanyut pada derasnnya aliran arus ini. Tanpa tahu akankah aku menjumpai pantai di ujung sana..
Entahlah apa ini wujud kepasrahan atau justru wujud keputusasaan. Mungkin lebih cocok disebut putus asa...
Lantas kenapa aku tidak kembali pada Allah saja? Berbagi duka pada Sang Pembuat Duka... entahlah. Aku juga tidak tahu kenapa aku tak melakukannya, seusai sholat lidahku terasa kelu untuk berkeluh kesah, aku seolah malu padaNya, Dia maha tahu atas apa yang terjadi padaku, lalu aku harus menceritakan dengan bahasa apa? Aku malu untuk menceritakan semuanya. Rasanya terlalu banyak yang akan aku bagi denganNya.
Akhirnya aku hanya menyimpannya sendiri dalam diam, lagi-lagi dalam diam.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, apa aku harus bertahan di tempat kerjaku, atau aku sudahi saja semuanya. Tapi jika aku sudahi aku lantas harus pergi kemana? Harus kerja dimana? Apakah ada jaminan jika aku keluar nanti itu akan membuatku lebih baik? Apa ada jaminan dengan cara ini aku akan meringankan beban orang tuaku?
Aku tidak tahu. Sekali lagi aku tidak tahu!!!!!!!!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar