Jumat, 31 Agustus 2012

Petani, Pahlawan yang terlupakan

Jangan salah, yang memberi makan kita (manusia)  bukanlah pejabat, bukan DPR, bukan pula PNS. Tapi petani, sebuah pekerjaan yang sering kali di pandang sebelah mata. Tapi merekalah sang pahlawan pangan, pahlawan yang terlupakan.


Disaat krisis pangan melanda negeri ini, semua mata  akan menaruh harapan pada petani. Keberadaannya baru disadari oleh sebagian besar masyarakat. Ya, ketika harga bahan pangan melonjak naik, mereka  baru meneliti penyebabnya. Ternyata penyebabnya  adalah kegagalan petani dalam mengoptimalkan hasil pertaniannya, hasil panen yang kurang memuaskan menjadi faktor utama naiknya  harga-harga  kebutuhan pokok masyarakat.
Ketika petani berhasil masyarakat yang menikmatinya, tetapi ketika segelintir masyarakat kenyang, petani dan masyarakat kecil kelaparan. Itulah gambaran kecil keadaan ekonomi negeri ini. Pada saat panen raya yang melimpah ruah harga bahan makanan anjlok, otomatis masyakat  kecil maupun masyarakat kalangan atas akan makmur. Namun sebaliknya justru mengenaskan, ketika gagal panen, harga bahan makanan jauh dari jangkauan masyarakat kecil. Hanya  segelintir orang yang dapat makan dengan kenyang. Sedangkan petani dan masyarakat kecil kelaparan. Bahkan hanya untuk mengganjal perut saja butuh pengorbanan yang luar biasa kerasnya.
Petani, sebuah kata yang sudah tidak asing ditelinga kita. Identik dengan kemiskinan dan level bawah. Di definisikan sebagai kaum yang berprofesi dengan menanam tanaman pangan di lahan, baik itu lahannya sendiri ataupun di lahan orang lain. Petani merupakan populasi terbanyak yang ada di daerah pedesaan yang lahan pertaniannya masih relatif luas.
Betapa rendahnya citra profesi petani di masyarakat. Hingga terkadang seseorang malu dengan latar belakangnya yang berasal dari keluarga seorang petani. Padahal sesungguhnya tidak demikian, petani adalah pekerjaan mulia. Menyediakan makanan bagi seluruh warga dunia. Tanpa adanya petani di dunia ini tidak ada bahan makanan yang tersedia. Semua orang akan kelaparan.
Jangan salah, yang memberi makan kita (manusia)  bukanlah pejabat, bukan DPR, bukan pula PNS. Tapi petani, sebuah pekerjaan yang sering kali di pandang sebelah mata. Tapi merekalah sang pahlawan pangan, pahlawan yang terlupakan. Mungkin sebagian orang akan mengelak, “Buktinya di luar negeri makanan pokok mereka bukan beras, tapi roti, daging dll.” Namun coba kita telaah lebih dalam, roti bahan utamanya apa? Tepung, gandum, sagu dll. Dan semua itu petani yang menghasilkan dari cocok tanam mereka. Petani sagu, petani gandum dll.  Daging, siapa yang menyediakan? Peternak, seorang peternak (petani ayam, petani ikan dll.) lah yang menyediakan daging-daging itu.  Pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang.
Dari penjabaran di atas, sudah jelas bukan, bahwa petanilah ujung tombak kehidupan manusia di dunia ini. Lantas bagaimana kehidupan manusia di masa depan ketika tak ada yang mau menjadi seorang pahlawan pangan? Sebuah pandangan yang terlanjur tertanam di benak sebagian besar masyarakat akan menyengsarakan mereka sendiri.
Bayangkan saja, sejak kecil ketika mulai mengenyam bangku pendidikan, seolah ditanamkan dalam diri mereka betapa sengasaranya menjadi petani, hingga tak ada yang mau jadi petani. Pekerjaan sebagai seseorang yang berkantor di ladang dianggap rendah. Tentu, siapa yang mau berpanas-panas mencangkul di sawah padahal ada pekerjaan yang jauh lebih menjanjikan. Berdasi, berhadapan dengan computer dengan hasil yang lebih memuaskan.
Memang tak salah bila seseorang lebih memilih bekerja dengan otak, dari pada dengan otot. Namun yang salah adalah pemikiran bahwa petani adalah pekerjaan yang rendah dengan penghasilan yang rendah pula. Dan seharusnya pemerintah juga turut serta dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Minimal memberikan kontribusi yang lebih untuk petani, misalnya dengan menyediakan benih, pupuk dan kebutuhan petani dalam pencapaian hasil panen yang maksimal. Serta mengusahakan kestabilan harga bahan pangan hasil pertanian. Dengan artian harga tinggi ketika musim panen dan diturunkan ketika musim paceklik. Sehingga secara tidak langsung kesejahteraan petani di utamakan.
Hal tersebut akan menyebabkan pandangan masyarat yang berbeda. Bila kesejahteraan petani terjamin, otomatis pekerjaan sebagai seorang petani tidak lagi di anggap rendah, karena biarpun seorang petani, namun hidupnya sejahtera. Memang pada dasarnya penilaian seseorang itu relative dan subjektif, tapi penilaian itu bisa digiring menjadi baik tergantung pandangan dan kenyataan yang di lihat pada realitanya. Petani bukan pekerjaan yang rendah, tapi justru mulia. Sang pahlawan pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar