Jangan salah, yang memberi makan
kita (manusia) bukanlah pejabat, bukan
DPR, bukan pula PNS. Tapi petani, sebuah pekerjaan yang sering kali di pandang
sebelah mata. Tapi merekalah sang pahlawan pangan, pahlawan yang terlupakan.
Disaat
krisis pangan melanda negeri ini, semua mata
akan menaruh harapan pada petani. Keberadaannya baru disadari oleh
sebagian besar masyarakat. Ya, ketika harga bahan pangan melonjak naik, mereka baru meneliti penyebabnya. Ternyata
penyebabnya adalah kegagalan petani
dalam mengoptimalkan hasil pertaniannya, hasil panen yang kurang memuaskan
menjadi faktor utama naiknya harga-harga
kebutuhan pokok masyarakat.
Ketika
petani berhasil masyarakat yang menikmatinya, tetapi ketika segelintir
masyarakat kenyang, petani dan masyarakat kecil kelaparan. Itulah gambaran
kecil keadaan ekonomi negeri ini. Pada saat panen raya yang melimpah ruah harga
bahan makanan anjlok, otomatis masyakat
kecil maupun masyarakat kalangan atas akan makmur. Namun sebaliknya
justru mengenaskan, ketika gagal panen, harga bahan makanan jauh dari jangkauan
masyarakat kecil. Hanya segelintir orang
yang dapat makan dengan kenyang. Sedangkan petani dan masyarakat kecil
kelaparan. Bahkan hanya untuk mengganjal perut saja butuh pengorbanan yang luar
biasa kerasnya.
Petani, sebuah kata yang sudah tidak
asing ditelinga kita. Identik dengan kemiskinan dan level bawah. Di definisikan
sebagai kaum yang berprofesi dengan menanam tanaman pangan di lahan, baik itu
lahannya sendiri ataupun di lahan orang lain. Petani merupakan populasi
terbanyak yang ada di daerah pedesaan yang lahan pertaniannya masih relatif
luas.
Betapa rendahnya citra profesi
petani di masyarakat. Hingga terkadang seseorang malu dengan latar belakangnya
yang berasal dari keluarga seorang petani. Padahal sesungguhnya tidak demikian,
petani adalah pekerjaan mulia. Menyediakan makanan bagi seluruh warga dunia.
Tanpa adanya petani di dunia ini tidak ada bahan makanan yang tersedia. Semua
orang akan kelaparan.
Jangan salah, yang memberi makan
kita (manusia) bukanlah pejabat, bukan
DPR, bukan pula PNS. Tapi petani, sebuah pekerjaan yang sering kali di pandang
sebelah mata. Tapi merekalah sang pahlawan pangan, pahlawan yang terlupakan.
Mungkin sebagian orang akan mengelak, “Buktinya di luar negeri makanan pokok
mereka bukan beras, tapi roti, daging dll.” Namun coba kita telaah lebih dalam,
roti bahan utamanya apa? Tepung, gandum, sagu dll. Dan semua itu petani yang
menghasilkan dari cocok tanam mereka. Petani sagu, petani gandum dll. Daging, siapa yang menyediakan? Peternak,
seorang peternak (petani ayam, petani ikan dll.) lah yang menyediakan
daging-daging itu. Pekerjaan yang
dianggap rendah oleh sebagian orang.
Dari penjabaran di atas, sudah jelas
bukan, bahwa petanilah ujung tombak kehidupan manusia di dunia ini. Lantas
bagaimana kehidupan manusia di masa depan ketika tak ada yang mau menjadi
seorang pahlawan pangan? Sebuah pandangan yang terlanjur tertanam di benak
sebagian besar masyarakat akan menyengsarakan mereka sendiri.
Bayangkan saja, sejak kecil ketika
mulai mengenyam bangku pendidikan, seolah ditanamkan dalam diri mereka betapa
sengasaranya menjadi petani, hingga tak ada yang mau jadi petani. Pekerjaan
sebagai seseorang yang berkantor di ladang dianggap rendah. Tentu, siapa yang
mau berpanas-panas mencangkul di sawah padahal ada pekerjaan yang jauh lebih
menjanjikan. Berdasi, berhadapan dengan computer dengan hasil yang lebih
memuaskan.
Memang tak salah bila seseorang
lebih memilih bekerja dengan otak, dari pada dengan otot. Namun yang salah
adalah pemikiran bahwa petani adalah pekerjaan yang rendah dengan penghasilan
yang rendah pula. Dan seharusnya pemerintah juga turut serta dalam hal
pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Minimal memberikan kontribusi yang lebih
untuk petani, misalnya dengan menyediakan benih, pupuk dan kebutuhan petani
dalam pencapaian hasil panen yang maksimal. Serta mengusahakan kestabilan harga
bahan pangan hasil pertanian. Dengan artian harga tinggi ketika musim panen dan
diturunkan ketika musim paceklik. Sehingga secara tidak langsung kesejahteraan
petani di utamakan.
Hal tersebut akan menyebabkan
pandangan masyarat yang berbeda. Bila kesejahteraan petani terjamin, otomatis pekerjaan
sebagai seorang petani tidak lagi di anggap rendah, karena biarpun seorang
petani, namun hidupnya sejahtera. Memang pada dasarnya penilaian seseorang itu
relative dan subjektif, tapi penilaian itu bisa digiring menjadi baik
tergantung pandangan dan kenyataan yang di lihat pada realitanya. Petani bukan
pekerjaan yang rendah, tapi justru mulia. Sang pahlawan pangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar