Jumat, 19 Desember 2014

Thanks to Allah



Hari ini, banyak hal yang aku rasakan. Aku senang sekali karena Allah masih memberiku kesempatan untuk memperbaiki diri, Allah masih sangat menyayangiku hingga DIA memberikan cobaan dan ujian yang membuatku semakin memahami arti kehidupan yang sejati, yang membuatku lebih dekat dengannya.......
Setelah sekian lama aku merasakan sholat yang biasa-biasa saja.. sekian lama aku kehilangan kenikmatan sholat dan kenikmatan berdoa... hari ini aku kembali merasakannya.... terimakasih ya Allah karena Engkau telah sangat mencintaiku, karena Engkau telah menjaga hamba dengan ujian-ujian dariMu.. Aku mencintaiMu ya Allah... dan aku ingin selalu mencintaiMu.....
Ya Allah.. please help me to love You by my totality love.....
I hope to love You forever...
I love You,,, and i will try to do the best anything for You..
Thanks Allah...
Alhamdulillah...
Ya Allah hamba berharap kondisi kedekatan hamba denganMu akan semakin dekat.. Allah will be closer to me...

MENGUAK MISTERI KEANEHAN MBOK SUP



Mbok sup, begitu panggilan akrabku pada beliau. Wanita paruh baya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani. Ia adalah wanita yang luar biasa, pekerja keras dan penyanyang. Hatinya lembut dan mudah tersentuh, ia lebih sering mengutamakan orang lain dari pada memenuhi kebutuhannya. Suatu hal yang jarang ku temui, seseorang yang berada di tengah keterbatasan tetap mengusahakan untuk membantu orang lain.
Tapi akhir-akhir ini ada yang berbeda dengan Bu Lekku yang satu ini, aku seakan tak mengenalnya. Lebih tepatnya, ia yang sama sekali tak mengenalku. Sepulang kuliah suasana berbeda yang kurasakan di rumah.  Hatiku bertanya-tanya, apa yang terjadi. Tapi tak ada jawaban yang kuharapkan dapat memperjelas misteri yang menambah kebingungku.
Alhamdulillah, rasa damai memenuhi hati ini ketika dapat ku cium tangan ibu dan bapakku. Satu bulan terakhir ini aku memang tak pulang, banyaknya kegiatan di kampus dan tugas kuliah yang numpuk membuatku harus melalui satu bulan ini di kost-kostan, dan tak berjumpa dengan kedua motivatorku,, ibu dan bapak. Mengobati kerinduanku pada mereka dengan sejuta aktivitas di kampus. Tak terasa satu bulan ini kulalui hari-hariku penuh sesak kerinduan pada malaikat yang tak pernah lelah memberikan kasih sayangnya padaku. Biarpun hanya dua hari di rumah, tapi minimal akan mengobati sesaknya dada ini menahan tangis kerinduan akan petuah-petuah mereka.
***
Tak terasa air mataku menetes, tergambar jelas wajah Bu Lek di mataku.
“Kamu ya jangan terlalu memikirkan Bu Lekmu,” suara ibu membuyarkan lamunanku. Hanya ku balas dengan senyuman kecut.
“Kamu ini sekolah ya sekolah aja yang serius, Tin. Jangan-jangan setelah ibu cerita tentang Bu Lek, ini jadi beban pikiranmu. Sudahlah, gak usah mikirin Bu Lekmu, dia sudah ada yang mikirin.” Ibu panjang lebar menasehatiku. Tapi mana mungkin aku gak mikirin Bu Lek, miris hati ini mendengar semua kenyataan yang hanya ku dengar dari mulut ibu. Hanya mendengar ceritanya saja pikiranku sudah menerawang jauh, membayangkan betapa sedih Bu lekku. Apalagi kalau aku melihat langsung kejadiannya. Ada sedikit rasa syukur di hati ini, karena aku tak menyaksikan langsung peristiwa itu. Mungkin agak kejam, tapi itulah yang bisa ku ambil dari cerita Mbak Sup dari ibuku.
Sehabis menyelesaikan pekerjaan rumah aku dan ibu pergi ke rumah nenek. Bapak berbisik kepadaku, “jangan sampai ibumu ketemu sama Mbok Sup,” ku balas dengan anggukan kepala. Aku sudah tau maksud bapak berbisik seperti itu.
Ceritanya berawal kurang lebih 30 tahun yang lalu, ketika Bu Lekku masih gadis. Ia menjalin hubungan istimewa dengan seorang pria. Bu lek adalah orang yang taat beragama. Ia pintar mengaji, tapi entah setan apa yang merasuki  jiwanya hingga ia mengabaikan ilmu-ilmu agama yang telah ia dapat sejak kecil. Inti permasalahannya ada di kakekku, kakekku tak merestui hubungan bu lek dengan kekasihnya. Akhirnya ia terjerumus dalam jurang perzinaan. Mbok Sup melakukan hubungan yang tak layak dilakukan oleh seseorang yang belum memiliki ikatan suami istri.
Mungkin bagi Bu Lek, hal ini akan meluluhkan hati kakek hingga ia dapatkan kata-kata restu dari orang yang sangat ia hormati. Tapi ternyata ia salah, hal ini justru membuat kakek semakin garang. Kemarahan kakek menjadi-jadi, cacian, hinaan, cemoohan dan segala hal yang buruk-buruk yang keluar dari bibir hitam kakek. Kemarahan yang luar biasa membuat kakek melakukan hal-hal yang kejam pada mbok sup dan kekasihnya. Wajar saja kakek melakukan hal itu, bagaimana seorang ayah tidak marah ketika anaknya melakukan hal yang sangat rendah dan memalukan. Yang mengundang cibiran tetangga yang heboh dengan kejadian ini. Cibiran menjadi makanan sehari-hari mbok sup.
Sedangkan kekasihnya sudah pergi entah kemana, karena tak kuat manghadapi olok-olokan tetangga. Mbok sup menghadapi semua ini sendiri, hingga ia melahirkan anak yang tak diinginkan banyak orang. Saat-saat itulah mbok sup mulai bersikap tidak sewajarnya. Ia lebih suka menyendiri, tak banyak bicara, dan tak mengurus keadaan tubuhnya. Lambat laun ia menjadi orang yang tak waras, melakukan hal-hal yang tak sewajarnya dilakukan seorang manusia normal. Saat itulah ibuku ikut-ikutan stress mendengar cemoohan dari tetangga, melihat parilaku mbok sup yang makin hari makin parah tak wajarnya. Dimana-mana semua orang membicarakan mbok sup, adik kesayangan ibuku.
Akhirnya ibu ikut-ikutan seperti mbok sup. Tapi ibu lebih banyak menyendiri di rumah. Tak seperti bu lek yang terus-terusan membuat kekacauan di luar. Masyarakat makin heboh dengan musibah yang terjadi di keluargaku. Apalagi bulek terus-terusan membuat masalah dengan banyak orang. Keluargaku berusaha keras untuk menyembuhkan ibu dan bu lek dengan berbagai cara. Mulai dari kedokteran hingga orang pintar. Akhirnya setelah menghabiskan banyak tenaga dan uang, Ibu bisa sembuh. Namun berbeda dengan Mbok Sup, Ia mungkin sembuh dari ulahnya yang suka membuat kekacauan di masyarakat, tapi ia tidak sembuh 100 %. Mbok Sup menjadi wanita yang lusuh, kumuh dan tak mau mengurus dirinya sendiri. Apalagi mencuci baju dan membersihkan rumah, mandi saja jarang.
Mbok Sup dijodohkan dengan seorang lelaki pilihan kakek. Lelaki kurus pendek yang kini menjadi Pak Lek ku. Mereka dikaruniai seorang anak lelaki. Sungguh malang nasib Bu Lekku ini, suaminya yang berfisik lemah tidak dapat bekerja sebagai buruh tani secara optimal, pendapatanpun jauh dibawah rata-rata. Akhirnya Mbok Sup harus bekerja sendiri menjadi buruh tani, karena suaminya yang lemah tenaganya tidak pernah dipakai tetangga kecuali oleh kerabat sendiri. 

bersambung.... 
semoga suatu saat bisa melanjutkan 
#kisah Nyata

Sebuah Ungkapan Rasa - Mei 2014



Sabtu, 31 Mei 2014
Entahlah,, yang aku rasakan hanya rasa sakit yang menghuncam di jiwa. Entah apa yang terjadi, mungkin karena aku semakin dewasa hingga yang aku rasakan seolah-olah aku adalah tulang punggung keluarga. Kondisi ketika yang berada dirumah hanya aku, sedang kakak-kakakku sudah menikah. Ketika bapak sakit rasanya harusnya aku yang bertanggungjawab, ketika ibu sakit, harusnya aku yang mencarikan obat. Mereka sudah cukup tua untuk itu semua, harusnya aku sudah bisajadi tulang punggung mereka dalam hal ekonomi. Tapi yang terjadi apa? Aku sama sekali tak bisa memenuhi itu, bahkan aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku tak punya cukup uang untuk itu, untuk uang bensin saja aku sudah pinjam uang sekolah. Banyak sekali masalah rasanya, entah apa.............. tapi aku hanya ingin lari dari semua ini....... harusnya memang aku tidak lari dari masalah, tapi ini sungguh sakit sekali,,, sakiiiiiiiiiiiit.
Kondisi ketika motor yang kupakai bukan punyaku, bukan sesuatu yang diberikanorangtuaku... melainkan dari orang lain yang sebenarnya berniat baik tapi kenyataannya hanya membuat beban hidupku semakin berat. Iya kalau motor itu enak dipakai, tapi kenyataannya motor itu sangat menyebalkan, membuat tubuhku sakit pegal-pegal jika aku menaikinya. Dan itu hanya beban, membuatku merasa berhutang dan harus membayarnya...
Laptop. Ini juga dari beliau. Lagi-lagi ia berniat baik, tapi ia sungguh tidak memikirkan perasaanku atas apa yang telah beliau lakukan, mungkin beliau pikir dengan fasilitas-harta yang beliau berikan akan membuatku bahagia dan bisa menjalani hidup dengan ringan... tidak ! sama sekali tidak!!!
Ini semua hanya membuatku semakin sakit, sakit,  sakit.
Aku memang bukan berasal dari orang yang mampu, dengan rumah yang bersih dan rapi, atau mungkin rumah yang terutup rapat. Tapi lagi-lagi masih ada orang yang lebih sulit dari aku. Tapi aku merasa seolah-olah aku adalah orang paling menderita di dunia.
Entahlah apa yang terjadi padaku... masalah yang datang kini tak membuatku semakin dekat dengan Sang Pemegang Hidup. Yang terjadi justru membuatku semakin jauh darinya. Apalagi fakta politik yang aku temui langsungpada ppartai yang tadinya aku puji-puji tapi tak ada bedanya dengan partai lain. Kondisi ketika aku berada di lingkunyan tarbiyah tapi ternyata banyak dari meraka yang terbiasa menyakiti hati saudaranya, terbiasa menyalahkan saudarannya. Ini semakin membuatku muak............
Kondisi ketika aku bekerja pada sebuah lembaga milik jamaah, tapi disanaaku lebih sering menangis, karena kata-kata mereka yang mungkin mereka tidak sadar telah membuat sakit hatiku... membuatku ragu pada mereka...
Aku berusaha keras setiap harinya agar bisa menyelesaikan tugasku dengan baik, dan tepat waktu. Tapi mereka tak pernah melihat kerja kerasku. Setiap pekerjaan yang sukses aku kerjakan tak pernah mendapat apresiasi dari mereka, tapi sebaliknya sedikit saja ada tugas yang tak sempurna sudah pasti hujatan dan seribu hujatan aku dapat, dan sudah pasti aku dapatkan air mata mengalir disana. Ini yang membuatku benci dan semakin benci.
Dan disana aku tak mendapat imbalan yang layak atas kerjaku,usaha kerasku ketika dihargai layak tapi aku justru mendapati semua orang berbuat tak layak padaku, bahkan sering kali aku tak mendapati senyuman, yang aku dapati hanyalah kata-kata dingin yang keluar dari mulut mereka.... dan kini ketika semua kembali normal, justru tidakcukupppp... bahkan untuk bensin saja tak cukkup...
Aku tahu apa yang terjadi padaku adalah sebuah kefuturan, aku tidak mau futur ini akhirnya membuatku menjadi munafik, aku ingin kembali pada Allah. Aku tak lagi percaya pada teman-teman dan ustadzahku atas masalahku, hingga aku tak lagi kuasa untuk berbagi masalah pada mereka,, entahlah kepercayaanku pada mereka kini telah pudar. Aku hanya bisa menyimpan rasa sakit ini sendiri. Tanpa tahu apa yang harus aku lakukan. Aku hanya diam dan hanyut pada derasnnya aliran arus ini. Tanpa tahu akankah aku menjumpai pantai di ujung sana..
Entahlah apa ini wujud kepasrahan atau justru wujud keputusasaan. Mungkin lebih cocok disebut putus asa...
Lantas kenapa aku tidak kembali pada Allah saja? Berbagi duka pada Sang Pembuat Duka... entahlah. Aku juga tidak tahu kenapa aku tak melakukannya, seusai sholat lidahku terasa kelu untuk berkeluh kesah, aku seolah malu padaNya, Dia maha tahu atas apa yang terjadi padaku, lalu aku harus menceritakan dengan bahasa apa? Aku malu untuk menceritakan semuanya. Rasanya terlalu banyak yang akan aku bagi denganNya.
Akhirnya aku hanya menyimpannya sendiri dalam diam, lagi-lagi dalam diam.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, apa aku harus bertahan di tempat kerjaku, atau aku sudahi saja semuanya. Tapi jika aku sudahi aku lantas harus pergi kemana? Harus kerja dimana? Apakah ada jaminan jika aku keluar nanti itu akan membuatku lebih baik? Apa ada jaminan dengan cara ini aku akan meringankan beban orang tuaku?
Aku tidak tahu. Sekali lagi aku tidak tahu!!!!!!!!!!!!

Naik Panggung : 2010-bersama Pak'e, 2014-bersama Mak'e & Pak'e



Sabtu, 27 September 2014
Bissmillahirrahmannirrahim...
Hari itu hari ketika aku diwisuda sarjana ekonomi di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Cendekia Bojonegoro. Empat tahun berlalu aku lalui di STIEKIA, lagi-lagi aku membawa kedua orang tua ku menaiki panggung untuk memperoleh penghargaan sebagai wisudawan terbaik.
Kala itu mungkin ada rasa bangga yang terbesit, ada rasa puas yang menyeruak, tapi itu bukanlah apa-apa, itu hanya awal, hanya langkah awal menuju sukses mulia...
Ada hal yang lebih besar yang harus aku persembahkan kepada kedua orangtuaku, sebuah pertanggungjawaban atas semua yang mereka berikan kepadaku selama ini...

Allah Selalu Penuh Kejutan



Ditulis tahun 2012 ketika sedang mengikuti sebuah pelatihan kepenulisan
Sebuah pengalaman yang luar biasa, saya tak menyangka ternyata usia saya sudah tergolong dewasa, saya sudah menginjak 19 tahun, tak pernah membayangkan sebelumnya kalau saya bisa kuliah. Kalau mengingat-ingat tentang kuliah, pada awalnya saya sudah pesimis, saya meresa saya tidak akan bisa langsung kuliah selepas SMA. Saya sudah membuat planning, saya akan merantau keluar kota untuk mencari kerja selama 1 tahun dengan anggapan penghasilan selama 1 tahun cukup untuk masuk kuliah.
Tapi Allah berkehendak lain, ada teman yang menawarkan untuk mendaftar di STAN bersama, dengan iming-iming STAN yang merupakan PT favorit tanpa ada penarikan biaya pendidikan, saya mati-matian belajar untuk bisa masuk STAN. Berbagai hal saya lakukan, soal-soal ujian masuk STAN yang seabrek menjadi makanan sehari-hari saya. Tapi apadaya bila Allah yang berbicara, saya tidak lulus tes STAN. Tapi untungnya, saya pernah di tawari kepala sekolah saya untuk mengambil beasiswa kuliah di salah satu perguruan tinggi di Bojonegoro. Akhirnya saya terima tawaran itu. Biarpun juurusan yang ditawarkan PTS di bojonegoro itu sama sekali berlawanan dengan keinginan saya, tapi saya tidak perduli, yang ada di pikiran saya yang penting saya bisa kuliah. Alhamdulillah, ternyata tak sia-sia saya ambil beasiswa itu, itu beasiswa yayasan yang penuh sampai lulus, asalkan bisa tetap berprestasi.
Akuntansi, sangan berlawanan sekali dengan cita-cita saya. Sewaktu kecil saya bercita-cita menjadi dokter, tapi saya tau diri saya tidak mungkin bisa kalau mengingat latar belakang keluarga saya yang hanya petani. Bapak saya petani biasa yang setiap harinya bekerja di sawah, sedangkan ibu, yang biasa saya panggil mak, penjual sayur di pasar. Beliau menanam sendiri di sawah kemudian di jual di pasar. Dari situlah kedua orang saya membiayai hidup saya dan menyekolahkan saya. Biarpun tak jarang mendapat olok-olokkan dari tetangga, “gak mungkin bisa nyekolahkan anak sampai tinggi, wong hanya petani”. Kata-kata itu sungguh menyayat hati, dan kalimat itu yang justru menjadikan saya semangat sampai saat ini. Sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga SMA saya menjadi yang terbaik di kelas, peringkat 1 tak pernan ketinggalan, bahkan sampai sakarangpun saya selalu mendapat IPK terbaik di kelas, terakhir di semester 2 IPK saya 3,71. Sampai saat ini hanya itu yang bisa saya berikan untuk kedua orang tua saya.
Pada masa SMA saya ambil program IPA, pelajaran favorit saya adalah pelajaran kimia. Saya punya keinginan untuk bisa melanjuutkan kuliah di fakultas MIPA dengan program kimia. Tapi harapan itu pupus ketika lagi-lagi masalah ekonomi menjadi penghalang ketika saya hendak mendaftar. Tapi itu tak masalah buat saya. Karena saya yakin Allah akan memberi apa yang butuhkan, bukan apa yang saya inginkan.
Saya yakin tidak ada yang sia-sia dari apa yang Allah lakukan. Buktinya sekarang, entah apa yang terjadi pada diri saya pun terkadang tak mengerti. Saya tidak pernah bermimpi tentang semua ini. Saya mengikuti sebuah pelatihan menulis, memang menjadi penulis adalah salah satu impian saya. Tapi tak pernah terlintas di benak untuk mengikuti sekolah menulis ini. Dan tak pernah terbayangkan pula kalau akan ada orang yang secara suka rela membiayai semua keperluan di sekolah menulis tarbawi ini. Biarpun saya kadang tidak yakin dengan apa yang saya lakukan, semua saya pasrahkan pada Allah pasti ada makna di balik semua ini.
Itulah yang sempat menjadi beban saya saat ini. Ada seseorang yang berbaik hati membantu saya, mencarikan pekerjaan, memberikan tempat kost gratis, memberikan fasilitas-fasilitas (seperti laptop dll), dan masih banyak lagi yang tak sanggup saya ucapkan. Bermimpipun saya tidakk pernah kalau saya akan di jadikan anak asuh oleh seorang manager koperasi syariah yang sudah cukup maju dan memiliki beberapa cabang diberbagai daerah, yang sekaligus dosen saya di kampus. Saya takut gagal dan mengecewakan beliau. Beliau melakukan semua ini karena beliau ingin bermanfaat untuk orang lain. Tapi saya takut kalau gagal dan mengecewakannya. Entahlah apa yang akan terjadi nanti setelah ini, semua saya pasrahkan pada Allah Yang Maha berkehendak.
Semua berawal ketika saya mengikuti sebuah pelatihan wirausaha yang bernama PERWIRA BEKI (pesantren wirausaha bina etos kerja islam). Ketika itu saya ambil focus di travel pariwisata. Setelah mengikuti pelatihan itu selama 1 bulan saya bekerja di salah satu biro jasa travel pariwisata di bojonegoro. Berbagai pelajaran saya dapatkan dari situ. Mulai dari menjadi marketing dan keliling seluruh bojonegoro mulai dari kota hingga desa-desa. Hingga menjadi tour leader ketika memberangkatkan rombongan ke jogja. Namun itu tidak berjalan lama, kurang lebih 2 bulan saya sudah tidak aktif lagi kerena suatu hal.
Akhirnya setelah saya kembali nganggur dan tak punya uang transport untuk kuliah kecuali dengan mengandalkan orang tua. Akhirnya saya memutar otak, apa yang harus saya lakukan agar saya tidak selalu merepotkan kedua orang tua yang sudah mulai sakit-sakitan termakan usia? Kemudian saya mulai berjualan buah salak. Saya ambil dari teman saya di bojonegoro dan saya jual di rumah, sambil ke kampus saya kulakan buah, dan saya jual di rumah, kebetulan kakak yang keliling untuk menjualkan. Ketika itu tak ada lagi rasa malu, yang terpenting buat saya halal dan hasilnya cukup untuk uang bensin ke kampus, yang jarak kampus dengan rumah saya kurang lebih 45 km.
Kurang lebih 1,5 bulan saya mencari uang transport dengan berjualan salak. Kemudian kembali terhenti ketika harganya naik. Lalu atas ijin pembimbing saya yang kini menjadi ayah asuh saya, saya magang di cabang koperasi syariah, dengan niatan akan buka cabang di daerah saya. Namun rencana itu kembali tak terlaksana, saya disarakan untuk bekerja di toko milik koperasinya. Sampai pada akhirnya saya mengikuti sekolah menulis dan semua yang terjadi pada diri saya sekarang. Dan saya tidak tau apa yang akan terjadi esok, karena Allah penuh kejutan. 

dan saat ini..... 19 Desember 2014................
Saat ini usia saya hampir 22 tahun,
Melanjutkan kisah saya di atas, saya bekerja di Toko Koperasi Syariah tersebut selama 2 tahun. Selanjutnya saya melamar kerja di sebuah sekolah islam terpadu sebagai admin, alhamdulillah setelah proses seleksi yang panjang akhirnya saya diterima. Saya bekerja di yayasan pendidikan tersebut selama satu tahun. Hingga ada tawaran dari dosen saya agar saya mencari beasiswa untuk melanjutkan kuliah S2 supaya nantinya bisa membantu mengajar di kampus. Tapi untuk mendapatkan beasiswa itu saya harus memiliki skore toefl minimal 500. Akhirnya sambil menunggu wisuda dan keluarnya ijazah saya memutuskan untuk mengundurkan diri dari tempat saya bekerja dan berangkat ke Pare untuk belajar bahasa inggris. 
Dua bulan saya belajar di Pare. Skore toefl yang tinggi sudah saya dapatkan. Predikat wisudawan terbaikpun sudah berhasil saya raih. Tapi apa mau dikata jika Allah belum berkehendak, ijazah belum keluar sehingga saya tetap tidak bisa melamar beasiswa S2. Sampai pada akhirnya atas informasi lowongan kerja dari dosen, saya melamar ke sebuah PT yang bergerak di bidang travel umroh dan haji untuk posisi accounting. Alhamdulillah saya diterima, dan saya ditempatkan di Surabaya hingga saat ini. Saya berharap suatu saat saya bisa melanjutkan kuliah S2 entah dengan beasiswa atau dengan biaya sendiri dan suatu saat saya bisa ber-umroh atau haji seperti para jamaah yang diberangkatkan PT tempat saya bekerja. Aamiin.