160
ribu rupiah…
Nafasku
hampir saja terhenti, sesak dada ini. Kulihat angka di kalkulator besar itu
sekali lagi, penglihatanku tak salah. Angka yang tetera di kalkulator itu
benar-benar 160.000. Lemas tubuh ini, membayangkan bagaimana bertahan hidup di kost
dalam satu bulan dengan uang 160 ribu rupiah, untuk makan, bensin, pulsa, sabun
cuci, belum lagi kalau tugas kuliah numpuk. Wah, rencana nabung buat beli
laptop terancam gagal nih.
Ku lihat kalender di HPku, sekarang baru
tanggal satu. Aku harus bertahan hidup 31 hari lagi di bulan desember ini
dengan uang 160 ribu rupiah. Rasanya baru kemarin aku tersenyum bahagia, ku
terima gaji 300 ribu rupiah bulan November ini penuh senyuman. Biarpun tak
seberapa tapi minimal bisa buat nambah
tabungan beli laptop (amin). Seperti teori pengelolaan keuangan secara islami
yang pernah ku baca di suatu buku.
Pengalokasiannya yang pertama bayar utang (pastinya bayar utang di temenku, karena bulan ini krisis banget, sampai pinjem-pinjem temen buat makan), kedua tabungan akhirat, ketiga tabungan
dunia, sisanya untuk kebutuhan sehari-hari.
Kemarin,
30 November 2011, seusai dapat rejeki yang memang tak seberapa ini (maklumlah cuma jaga toko itu pun cuma setengah hari sepulang kuliah) ku
raih kalkulator toko yang ada di meja kasir. Aku cari posisi sePW mungkin (posisi wenak, bahasa
gaulnya. Hehe). Mulai ku masukan angka-angka ke kalkulator. Sambil ku bayar
utangku ke sahabatku yang kebetulan ada di hadapanku.
“Alhamdulillah
cukup” itu kalimat yang ku ucapkan setelah mengutak atik tombol-tombol di
kalkulator itu, aku hitung-hitung cukup untuk kebutuhan satu bulan. Lega rasanya hati ini, berharap untuk bulan
ini tak ada lagi utang piutang. Hehe.
Keesokan
harinya, sama seperti biasanya, bangun pagi buka toko lalu kuliah. Sepulang
kuliah begitu sampai toko, seperti biasa ku parkir sepeda di samping toko.
Lalu…
“Braaakkkk………!!!!!!!
“
“irraaaaaaa……..”
Suara mbk suci berteriak,
Spontan
aku menengok kebelakang. Duhhh… Penyakit cerobohku umat. Ku lihat sepeda di
belakangku tergeletak. Tak ada perasaan khawatir, segera ku bangunkan sepeda
butut itu (padahal sepedaku sendiri ku katain sepeda butut,, hehe). Karena
kesulitan akhirnya Pak Saiful, tetangga di samping toko membantu. Sepeda berhasil
bangun, ku lihat kaca spion sepedaku tergeletak di bawah. “Duh masalah nih”
baru ada sedikit kekhawatiran, tapi sangat sedikit sekali. Mbak Suci dan Mbk Nana
datang menghampiriku, mereka menanyakan kronologis kejadiannya sambil
memperhatikan kerusakan sepeda.
“Putus” kata mbak nana memotong ceritaku, aku
mulai cemas. Tapi tak apalah, banyak bengkel pikirku, palingan benerin gituan notok habis 20 ribuan, otakku mulai
menghitung-hitung.
“dibenerin di samping rumahku aja, deket.
Tapi di tinggal aja, biasanya
bapaknya lama benerinnya,” saran Mbak
Suci panjang lebar membuyarkan lamunanku.
“Ya
mbak, masih nunggu Ida,” jawabku
diiringi senyum kecut.
Aku
masih nunggu Ida, sahabatku yang belum pulang dari kampus, rencananya aku akan
minta tolong dia buat nganter ke
bengkel benerin sepeda. Aku agak
cemas dan gelisah, tapi tak apalah, perkiraanku benerin sepeda pasti tak seberapa, kemarin aja pas lampu sepeda rusak, dibenerin di bengkel kampung dengan 5
ribu rupiah, lampu udah terang.
“Kenapa
Mbak?” Tanya bapak di bengkel.
“Spionnya
putus Pak,” jawabku tak panjang lebar. Bapak bengkel cekatan memeriksa
kerusakan sepeda. “Sama rem depannya juga rusak Pak,” sambungku.
“kenapa
Ra?” suami Mbak Suci menghampiriku,
“tadi
sepedaku habis jatuh Mas, spionnya putus, rem depannya juga rusak” aku mulai
menjelaskan. Dan bla bla bla, mulai obrolan kecil,,
“Wah
harus di las Mbak ini” kata bapak bengkel memutus obrolan kami yang sekaligus
menambah kegelisahanku, membuatku tambah loyo, nambah nih ongkosnya, pikirku. Maklum, namanya juga anak kost, orang
ekonomi lagi (kuliah di fakultas ekonomi), yang di cari pasti yang ekonomis.
“Ya
Pak, kira-kira habis berapa Pak?”
“40-an
Mbak,” jawaban bapak kali ini benar-benar menghentikan detak jantungku, tapi
tak lama, hehe. Mungkin buat sebagian orang uang segitu tak seberapa, tapi buat
aku uang segitu cukup buat makan beberapa hari. Reflek mataku langsung memandang
Ida. Pandangan minta saran, dia pasti tau maksudnya, mahal banget. Ida hanya
membalas dengan senyuman manisnya, tapi kayaknya sih terpaksa.
“Ya
udah Pak, nanti sore saya ambil” kata terakhir yang ku ucapkan, lantas pergi
sambil tersenyum, tanda mohon pamit pada suami Mbk Suci dan bapak bengkel.
Dibalas dengan senyum pastinya. Lalu kami ber;alu meninggalkan bengkel itu.
Sampai
di toko masih gelisah, sambil ngitung-ngitung
cukup gak ya uangku. Terciptalah obrolan
antara aku dan Ida, aku minta saran gimana menurut dia. Ida memang yang paling
ngerti aku luar dalam. Akhirnya aku memutuskan untuk balik lagi ke bengkel itu
dan membatalkan perbaikan sepeda, aku bawa pulang saja, diperbaiki di rumah
saja pikirku. Tapi sudah terlambat, sepedaku sudah di preteli alias di pisah-pisah bagiannya dan di bawa ke tempat las.
Nasib deh. Kembali ke toko penuh penyesalan.
Tit..tit..tit..
HP antikku berbunyi. Sepedamu sudah jadi, sms dari suami Mbak Suci. Huh.. tidak
dapat diskon (ngarep.com). Ya udah deh tak apa.
Merenung…
Ya
Allah rejekiku bulan ini tidak berkah, pasti ada yang salah. Mulai deh aku
introspeksi diri. Aku teringat buku karya Baban Sarbana yang ku baca kemarin.
Ada cerita tentang seorang ibu yang berpenghasilan Rp.7000 per hari, Rp.2000 ia
sisihkan untuk sedekah dari pada untuk naik angkot. Ia pilih jalan kaki dan 2
ribu rupiah untuk ongkos ke akhirat dari
pada ongkos angkot. Luar biasa, ia bilang, 2 ribu rupiah itu benar-benar akan
menjadi rejekinya di akhirat, kalau tidak disedekahkan pasti jadi rejeki orang
lain, entah tukang becak, angkot atau pedagang beras. Teori pengelolaan
keuangan keluarga yang luar biasa. Padahal ia hanya seorang janda yang hidup
bersama ibunya yang suda renta, dengan pekerjaan mungutin sampah plastik di sungai, alias pemulung.
Aku
gagal, padahal baru kemarin ku baca dan ingin ku contek teori pengelolaan keuangannya. Aku teringat tadi sepulang
dari kampus aku berjumpa dengan seorang pengemis, lusuh, sudah tua pula, tampak
wajahnya yang melas, suara nyanyian lambungnya pun seakan terdengar olehku.
tapi aku memilih untuk terus melaju dengan motor bututku yang selalu setia
menemaniku, tanpa berhenti atau paling tidak berbagi senyum padanya. Padahal
ada sedikit niat untuk berbagi rejeki. Namun justru ku singkirkan niat mulia
itu. Ternyata benar kata ibu pemulung itu dalam buku karya Baban Sarbana,
ongkos akhirat tak terbayarkan, akhirnya jadi rejekinya bapak bengkel, ongkos
benerin sepeda, kalau kayak gini baru nyesel
deh. Ampuni aku Ya Allah, terima kasih karena telah mengingatkanku. Aku akan
berusaha mencari ongkos ke akhirat sebanyak mungkin. Temani aku di setiap
langkahku Ya Rabb. Amin.
Ditulis tanggal 1 Desember 2011