Jumat, 31 Agustus 2012

Motivator Kehidupan


Ilustrasi, bukan gambar asli
                Bu Ran, begitu beliau akrab di sapa. Wanita 60 tahun yang tersenyum malu ketika di puji-puji atas kesuksesannya.  Ya, mungkin ia hanya tukang kebun. Tapi wanita yang kurus kering termakan usia ini telah sukses mangantarkan anak-anaknya meraih kesuksesan dunia, dan akhirat insyaallah. Sudah 30 tahun lebih ia mengadu nasip sebagai tukang kebun sekaligus ibu kantin di sebuah universitas swasta di Bojonegoro. Namun hal itu tak menyurutkan semangatnya untuk mendidik kelima anak dan tujuh adik-adiknya.
            Menjadi tukang kebun tak membuatnya pesimis dan pasrah pada takdir. Ia tak ingin keluarga terutama anak-anaknya kelak bernasip sama dengannya. Itulah yang membuatnya mampu meluluskan kelima anaknya dari perguruan tinggi ternama. Anak pertamanya sukses sebagai dosen. Yang kedua sebagai pengacara. Hal ini dianggap mustahil akan terjadi pada keluarga tukang kebun. Tapi ini nyata, biarpun keluarganya dikenal sebagai “keluarga kebon”, latar belakang keluarganya memang tukang kebun. Berawal dari pamannya, lalu ia dan ketiga adiknya semua bekerja sebagai tukang kebun di sebuah lembaga pendidikan.
            Ketulusan dan kesabaranya dalam melayani serta menjaga kebersihan kampus membuat banyak orang menyayangi dan begitu menghormatinya. Biarpun hanya seorang tukang kebun, tapi dosen-dosen bahkan rektor universitas sangat menghormatinya. Ia menjadi ibu bagi semua orang di kampus itu, mulai dari mahasiswa, dosen hingga rektor.  Tak jarang ia memberikan petuah-petuah dan mengingatkan anak-anaknya (di kampus) ketika ada hal yang salah, dan sebagian besar sangat menghargai nasihat darinya. Salah satu mantan pembantu rektor di sana mengakui kelebihan  Bu Ran yang sangat di hargai oleh orang-orang disana. Dia mengungkapkan bahwa Bu Ran lah yang sering memberi masukan kepadanya ketika dia masih menjabat sebagai pembantu rektor, dan itu amat berharga baginya.
            Dari sini, membuat orang semakin yakin bahwa Allahlah Sang Khaliq Yang Maha Membolak-Balikan hati. Meski hanya tukang kebun yang sering dipandang sebelah mata, tapi ia adalah sosok motivator yang hebat. Yang mampu membakar semangat orang-orang untuk maju, termasuk saya termotivasi darinya. Di balik kerudung yang menutupi rambut ubannya yang mulai merata di seluruh bagian kepala, tampak keistiqomahannya dalam mencintai Rabbnya. Membuat sejuk orang yang memandangnya dan orang yang berada  di dekatnya. Kecintaannya pada Rabbnya telah menumbuhkan kecintaan orang-orang di sekitarnya yang membuat setiap kata yang keluar dari bibir kisutnya menjadi petuah berharga bagi orang lain.
            Di usianya yang telah renta tak menyurutkan semangatnya untuk terus mengabdikan sisa hidupnya dalam merawat dan menjaga kebersihan kampus. Seiring senyum anggunnya menyapa dengan penuh sopan kerendahan hati. Biarpun anak-anaknya telah sukses yang pastinya mampu menafkahinya tanpa ia harus menjadi tukang kebun. Tapi ia tak mau  melepas pekerjaan mulianya. Melayani dengan penuh ketulusan hati. Membuatnya memiliki kedudukan tersendiri dihadapan Rabbnya. Yang akhirnya menumbuhkan kecintaan orang-orang disekitarnya dan juga membuat perkataanya menjadi petuah berharga. Dialah sang motivator yang luar biasa. 

Petani, Pahlawan yang terlupakan

Jangan salah, yang memberi makan kita (manusia)  bukanlah pejabat, bukan DPR, bukan pula PNS. Tapi petani, sebuah pekerjaan yang sering kali di pandang sebelah mata. Tapi merekalah sang pahlawan pangan, pahlawan yang terlupakan.


Disaat krisis pangan melanda negeri ini, semua mata  akan menaruh harapan pada petani. Keberadaannya baru disadari oleh sebagian besar masyarakat. Ya, ketika harga bahan pangan melonjak naik, mereka  baru meneliti penyebabnya. Ternyata penyebabnya  adalah kegagalan petani dalam mengoptimalkan hasil pertaniannya, hasil panen yang kurang memuaskan menjadi faktor utama naiknya  harga-harga  kebutuhan pokok masyarakat.
Ketika petani berhasil masyarakat yang menikmatinya, tetapi ketika segelintir masyarakat kenyang, petani dan masyarakat kecil kelaparan. Itulah gambaran kecil keadaan ekonomi negeri ini. Pada saat panen raya yang melimpah ruah harga bahan makanan anjlok, otomatis masyakat  kecil maupun masyarakat kalangan atas akan makmur. Namun sebaliknya justru mengenaskan, ketika gagal panen, harga bahan makanan jauh dari jangkauan masyarakat kecil. Hanya  segelintir orang yang dapat makan dengan kenyang. Sedangkan petani dan masyarakat kecil kelaparan. Bahkan hanya untuk mengganjal perut saja butuh pengorbanan yang luar biasa kerasnya.
Petani, sebuah kata yang sudah tidak asing ditelinga kita. Identik dengan kemiskinan dan level bawah. Di definisikan sebagai kaum yang berprofesi dengan menanam tanaman pangan di lahan, baik itu lahannya sendiri ataupun di lahan orang lain. Petani merupakan populasi terbanyak yang ada di daerah pedesaan yang lahan pertaniannya masih relatif luas.
Betapa rendahnya citra profesi petani di masyarakat. Hingga terkadang seseorang malu dengan latar belakangnya yang berasal dari keluarga seorang petani. Padahal sesungguhnya tidak demikian, petani adalah pekerjaan mulia. Menyediakan makanan bagi seluruh warga dunia. Tanpa adanya petani di dunia ini tidak ada bahan makanan yang tersedia. Semua orang akan kelaparan.
Jangan salah, yang memberi makan kita (manusia)  bukanlah pejabat, bukan DPR, bukan pula PNS. Tapi petani, sebuah pekerjaan yang sering kali di pandang sebelah mata. Tapi merekalah sang pahlawan pangan, pahlawan yang terlupakan. Mungkin sebagian orang akan mengelak, “Buktinya di luar negeri makanan pokok mereka bukan beras, tapi roti, daging dll.” Namun coba kita telaah lebih dalam, roti bahan utamanya apa? Tepung, gandum, sagu dll. Dan semua itu petani yang menghasilkan dari cocok tanam mereka. Petani sagu, petani gandum dll.  Daging, siapa yang menyediakan? Peternak, seorang peternak (petani ayam, petani ikan dll.) lah yang menyediakan daging-daging itu.  Pekerjaan yang dianggap rendah oleh sebagian orang.
Dari penjabaran di atas, sudah jelas bukan, bahwa petanilah ujung tombak kehidupan manusia di dunia ini. Lantas bagaimana kehidupan manusia di masa depan ketika tak ada yang mau menjadi seorang pahlawan pangan? Sebuah pandangan yang terlanjur tertanam di benak sebagian besar masyarakat akan menyengsarakan mereka sendiri.
Bayangkan saja, sejak kecil ketika mulai mengenyam bangku pendidikan, seolah ditanamkan dalam diri mereka betapa sengasaranya menjadi petani, hingga tak ada yang mau jadi petani. Pekerjaan sebagai seseorang yang berkantor di ladang dianggap rendah. Tentu, siapa yang mau berpanas-panas mencangkul di sawah padahal ada pekerjaan yang jauh lebih menjanjikan. Berdasi, berhadapan dengan computer dengan hasil yang lebih memuaskan.
Memang tak salah bila seseorang lebih memilih bekerja dengan otak, dari pada dengan otot. Namun yang salah adalah pemikiran bahwa petani adalah pekerjaan yang rendah dengan penghasilan yang rendah pula. Dan seharusnya pemerintah juga turut serta dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Minimal memberikan kontribusi yang lebih untuk petani, misalnya dengan menyediakan benih, pupuk dan kebutuhan petani dalam pencapaian hasil panen yang maksimal. Serta mengusahakan kestabilan harga bahan pangan hasil pertanian. Dengan artian harga tinggi ketika musim panen dan diturunkan ketika musim paceklik. Sehingga secara tidak langsung kesejahteraan petani di utamakan.
Hal tersebut akan menyebabkan pandangan masyarat yang berbeda. Bila kesejahteraan petani terjamin, otomatis pekerjaan sebagai seorang petani tidak lagi di anggap rendah, karena biarpun seorang petani, namun hidupnya sejahtera. Memang pada dasarnya penilaian seseorang itu relative dan subjektif, tapi penilaian itu bisa digiring menjadi baik tergantung pandangan dan kenyataan yang di lihat pada realitanya. Petani bukan pekerjaan yang rendah, tapi justru mulia. Sang pahlawan pangan.

Rabu, 29 Agustus 2012

Ongkos Ke Akhirat


160 ribu rupiah…
Nafasku hampir saja terhenti, sesak dada ini. Kulihat angka di kalkulator besar itu sekali lagi, penglihatanku tak salah. Angka yang tetera di kalkulator itu benar-benar 160.000. Lemas tubuh ini,  membayangkan bagaimana bertahan hidup di kost dalam satu bulan dengan uang 160 ribu rupiah, untuk makan, bensin, pulsa, sabun cuci, belum lagi kalau tugas kuliah numpuk. Wah, rencana nabung buat beli laptop terancam gagal nih.
Ku lihat kalender di HPku, sekarang baru tanggal satu. Aku harus bertahan hidup 31 hari lagi di bulan desember ini dengan uang 160 ribu rupiah. Rasanya baru kemarin aku tersenyum bahagia, ku terima gaji 300 ribu rupiah bulan November ini penuh senyuman. Biarpun tak seberapa tapi minimal bisa buat nambah tabungan beli laptop (amin). Seperti teori pengelolaan keuangan secara islami yang pernah  ku baca di suatu buku. Pengalokasiannya yang pertama bayar utang (pastinya bayar utang di temenku, karena bulan ini krisis banget, sampai pinjem-pinjem temen buat makan), kedua tabungan akhirat, ketiga tabungan dunia, sisanya untuk kebutuhan sehari-hari.  
Kemarin, 30 November 2011, seusai dapat rejeki yang memang tak seberapa ini (maklumlah cuma jaga toko itu pun cuma setengah hari sepulang kuliah) ku raih kalkulator toko yang ada di meja kasir. Aku cari posisi sePW mungkin (posisi wenak, bahasa gaulnya. Hehe). Mulai ku masukan angka-angka ke kalkulator. Sambil ku bayar utangku ke sahabatku yang kebetulan ada di hadapanku.
“Alhamdulillah cukup” itu kalimat yang ku ucapkan setelah mengutak atik tombol-tombol di kalkulator itu, aku hitung-hitung cukup untuk kebutuhan satu bulan.  Lega rasanya hati ini, berharap untuk bulan ini tak ada lagi utang piutang. Hehe.
Keesokan harinya, sama seperti biasanya, bangun pagi buka toko lalu kuliah. Sepulang kuliah begitu sampai toko, seperti biasa ku parkir sepeda di samping toko. Lalu…
“Braaakkkk………!!!!!!! “
“irraaaaaaa……..” Suara mbk suci berteriak,
Spontan aku menengok kebelakang. Duhhh… Penyakit cerobohku umat. Ku lihat sepeda di belakangku tergeletak. Tak ada perasaan khawatir, segera ku bangunkan sepeda butut itu (padahal sepedaku sendiri ku katain sepeda butut,, hehe). Karena kesulitan akhirnya Pak Saiful, tetangga di samping toko membantu. Sepeda berhasil bangun, ku lihat kaca spion sepedaku tergeletak di bawah. “Duh masalah nih” baru ada sedikit kekhawatiran, tapi sangat sedikit sekali. Mbak Suci dan Mbk Nana datang menghampiriku, mereka menanyakan kronologis kejadiannya sambil memperhatikan kerusakan sepeda.
 “Putus” kata mbak nana memotong ceritaku, aku mulai cemas. Tapi tak apalah, banyak bengkel pikirku, palingan benerin gituan notok habis 20 ribuan, otakku mulai menghitung-hitung. 
dibenerin di samping rumahku aja, deket. Tapi di tinggal aja, biasanya bapaknya lama benerinnya,” saran Mbak Suci panjang lebar membuyarkan lamunanku.
“Ya mbak, masih nunggu Ida,” jawabku diiringi senyum kecut.
Aku masih nunggu Ida, sahabatku yang belum pulang dari kampus, rencananya aku akan minta tolong dia buat nganter ke bengkel benerin sepeda. Aku agak cemas dan gelisah, tapi tak apalah, perkiraanku benerin sepeda pasti tak seberapa, kemarin aja pas lampu sepeda rusak, dibenerin di bengkel kampung dengan 5 ribu rupiah, lampu udah terang.
“Kenapa Mbak?” Tanya bapak di bengkel.
“Spionnya putus Pak,” jawabku tak panjang lebar. Bapak bengkel cekatan memeriksa kerusakan sepeda. “Sama rem depannya juga rusak Pak,” sambungku.
“kenapa Ra?” suami Mbak Suci menghampiriku,
“tadi sepedaku habis jatuh Mas, spionnya putus, rem depannya juga rusak” aku mulai menjelaskan. Dan bla bla bla, mulai obrolan kecil,,
“Wah harus di las Mbak ini” kata bapak bengkel memutus obrolan kami yang sekaligus menambah kegelisahanku, membuatku tambah loyo, nambah nih ongkosnya, pikirku. Maklum, namanya juga anak kost, orang ekonomi lagi (kuliah di fakultas ekonomi), yang di cari pasti yang ekonomis.
“Ya Pak, kira-kira habis berapa Pak?”
“40-an Mbak,” jawaban bapak kali ini benar-benar menghentikan detak jantungku, tapi tak lama, hehe. Mungkin buat sebagian orang uang segitu tak seberapa, tapi buat aku uang segitu cukup buat makan beberapa hari. Reflek mataku langsung memandang Ida. Pandangan minta saran, dia pasti tau maksudnya, mahal banget. Ida hanya membalas dengan senyuman manisnya, tapi kayaknya sih terpaksa.
“Ya udah Pak, nanti sore saya ambil” kata terakhir yang ku ucapkan, lantas pergi sambil tersenyum, tanda mohon pamit pada suami Mbk Suci dan bapak bengkel. Dibalas dengan senyum pastinya. Lalu kami ber;alu meninggalkan bengkel itu.
Sampai di toko masih gelisah, sambil ngitung-ngitung cukup gak ya uangku.  Terciptalah obrolan antara aku dan Ida, aku minta saran gimana menurut dia. Ida memang yang paling ngerti aku luar dalam. Akhirnya aku memutuskan untuk balik lagi ke bengkel itu dan membatalkan perbaikan sepeda, aku bawa pulang saja, diperbaiki di rumah saja pikirku. Tapi sudah terlambat, sepedaku sudah di preteli alias di pisah-pisah bagiannya dan di bawa ke tempat las. Nasib deh. Kembali ke toko penuh penyesalan.
Tit..tit..tit.. HP antikku berbunyi. Sepedamu sudah jadi, sms dari suami Mbak Suci. Huh.. tidak dapat diskon (ngarep.com). Ya udah deh tak apa.
Merenung…
Ya Allah rejekiku bulan ini tidak berkah, pasti ada yang salah. Mulai deh aku introspeksi diri. Aku teringat buku karya Baban Sarbana yang ku baca kemarin. Ada cerita tentang seorang ibu yang berpenghasilan Rp.7000 per hari, Rp.2000 ia sisihkan untuk sedekah dari pada untuk naik angkot. Ia pilih jalan kaki dan 2 ribu rupiah untuk  ongkos ke akhirat dari pada ongkos angkot. Luar biasa, ia bilang, 2 ribu rupiah itu benar-benar akan menjadi rejekinya di akhirat, kalau tidak disedekahkan pasti jadi rejeki orang lain, entah tukang becak, angkot atau pedagang beras. Teori pengelolaan keuangan keluarga yang luar biasa. Padahal ia hanya seorang janda yang hidup bersama ibunya yang suda renta, dengan pekerjaan mungutin sampah plastik di sungai, alias pemulung.
Aku gagal, padahal baru kemarin ku baca dan ingin ku contek teori pengelolaan keuangannya. Aku teringat tadi sepulang dari kampus aku berjumpa dengan seorang pengemis, lusuh, sudah tua pula, tampak wajahnya yang melas, suara nyanyian lambungnya pun seakan terdengar olehku. tapi aku memilih untuk terus melaju dengan motor bututku yang selalu setia menemaniku, tanpa berhenti atau paling tidak berbagi senyum padanya. Padahal ada sedikit niat untuk berbagi rejeki. Namun justru ku singkirkan niat mulia itu. Ternyata benar kata ibu pemulung itu dalam buku karya Baban Sarbana, ongkos akhirat tak terbayarkan, akhirnya jadi rejekinya bapak bengkel, ongkos benerin sepeda, kalau kayak gini baru nyesel deh. Ampuni aku Ya Allah, terima kasih karena telah mengingatkanku. Aku akan berusaha mencari ongkos ke akhirat sebanyak mungkin. Temani aku di setiap langkahku Ya Rabb. Amin.

Ditulis tanggal 1 Desember 2011

Selamat datang di blog Menggapai Ridho Illahi Rabbi



setiap manusia pasti mempunyai kesalahan, termasuk saya. karena itu saya ingin tobat. hehehe
"Orang yang baik bukanlah orang yang selalu melakukan kebaikan dan tak pernah melakukan kesalahan. Namun orang yang baik adalah orang yang ketika melakukan kesalahan segera memperbaiki dirinya dan BERTOBAT."
Blog ini berisi episode-episode kehidupanku dalam misi utama "Menggapai Ridho Allah."